Tidak seperti hari-hari sebelumnya di mana mendung menyelimuti jagat. Suasana pagi ini terlihat cerah. Burung-burung Gereja beterbangan menghiasi langit. Nampak indah dipandang mata. Nira memandangi langit dan arakan burung Gereja. Cukup lama. Ia kemudian mengayunkan langkah penuh semangat berjalan menyusuri lorong, melewati pelataran Gua, dan masuk ke dalam Studio. Ia bertemu rekan kerja sekaligus seniornya.
“Bagaimana kaka? Apakah su bisa?”
“Belum, Nir. Sa su berusaha. Masih ada kendala. Sa akan turun langsung bertemu kepala staf untuk mengurusnya.”
“Baiklah. Sa percaya kaka pasti mampu mengatasinya.”
“Iya, Nir. Makasih. Sa lanjut latihan vokal dulu e. Nanti sa kabari lagi.”
Nira hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Antoy sambil melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Hati kecilnya sama sekali tidak menaruh percaya. Sudah beberapa kali Antoy membohonginya dengan mengatakan hal yang sama. Sebenarnya Nira tak mau bertemu. Hanya desakan dari pimpinan pusat membuatnya terpaksa harus menemui Antoy. Ia tahu Antoy merencanakan sesuatu yang tidak baik. Suatu rencana yang sudah lama dijalankanuntuk mempersulit Nira.Hal itu didasarkan pada fikrah Antoy yang mengira bahwa posisinya akan digeser oleh kehadiran yuniornya yang berbakat. Padahal Nira sama sekali tidak pernah menyimpan niat serupa. Nira menghargai dan menghormati seniornya. Nira selalu membangun komunikasi yang baik, bahkan memberikan dukungan penuh sekalipun berulangkali Antoy berusaha menghambat Nira secara administratif di tempat kerja.
Angin bertiup sepoi membelai dedaunan. Beberapa di antaranya tertanggal. Jatuh tepat di hadapan lelaki berperawakan tinggi. Sedari tadi ia melepas pandangan pada sepasang Nuri yang bertengger di ranting pohon yang hampir patah. Kedua nuri itu menari-nari dari ranting yang satu ke ranting lainnya sembari berkicau. Kicauan merdu itu seakan membangkitkan semangatnya yang hampir hilang dilanda kelabu.
Sudah hampir sejam sang pemuda menanti. Tak peduli pada lamanya waktu. Seharusnya ia datang sesuai dengan kesepakatan yang dijanjikan. Tapi sang pemuda memilih datang lebih awal. Ia membawa sejumput pergelutan di kepalanya. Hendak mencurahkan lika-liku hidupnya. Tentu pada orang yang amat dipercayainya. Seseorang yang akan membantu dirinya menemukan jalan solutif bagi permasalahan yang dihadapinya.
“Su lama menunggukah, nana?”ucap Nira mengejutkannya
Adrian terperanjat. Membalikkan badannya. Meronakan senyum sepintas. Nira membalasnya dengan senyum sumringah sembari melambaikan tangan seperti biasanya saat bertemu.
“Ada apa gerangan nana datang seawal ini?”
“Lu pasti taula bahwa ada yang urgen sekali sehingga sa datang sedini ini”
“Iya, nana. Itu terlihat di wajahmu. Sepertinya sedang dalam masalah”
“Betul, liko.”
“Ceritakanlah!”
Nira sudah menganggap Adrian sebagai saudara tengahyang disebutnyanana. Begitupan Adrian telah menganggap Nira sebagai saudari bungsu yang disebutnyaliko. Panggilan terhormat untuk seorang kakak kedua dan adik bungsu bagi masyarakat suku dawan. Keduanya saling menatap. Suasana menjadi hening. Nira dan Adrian hanyut dalam keheningan. Seketika itu air mata Adrian perlahan menetes. Menganak sungai di kedua pipi. Adrian mengusap matanya berulang. Nira terkejut melihatnya. Ia tak menyangka Adrian meneteskan air mata. Baginya Adrian adalah sosok seorang kakak yang memiliki kepribadian kuat. Tetapi sekuat-kuatnya Adrian ternyata luruh juga hatinya.
“Jang menangis,nana! Nanti sa ikut menangis.”
“Iya, liko. Maaf, nanasudah membuatmu empati.”
“Sonde apa-apa,nana. Masalahnya bagemana sampe nanabisa begini?”
Adrian mulai menceritakan masalahnya. Berawal di bulan Maret dua tahun yang lalu. Adrian berkenalan dengan seorang wanita berkarier melalui instagram. Perkenalan itu menumbuhkan kedekatan hati. Keduanya terpaut dalam rasa yang mendalam. Mereka jatuh cinta. Percintaan itu dijalani dengan sukacita yang berujung pada suatu perjanjian. Mereka ingin melakukan temu keluarga secara adat. Hingga tiba waktu yang ditentukan wanita yang dicintai Adrian pulang. Mereka bertemu dalam kegembiraan. Suasana hati yang dialami kedua insan dirasakan pula oleh kedua keluarga besar. Dalam kegembiraan itu, mereka melaksanakan ritual tua luman, meminang berdasarkan tata cara adat suku dawan.Dalam proses adat itu, terdapat satu tahapan penting yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Masing-masing mempelai diberikan kesempatan untuk menyampaikan sesuatu. Mereka berbicara mengenai keterikatan kontrak kerja yang membuat keduanya belum bisa melanjutkan ke tahappernikahan di Gereja. Kontrak yayasan itu akan berakhir pada bulan Juli tahun berikutnya. Usai kontrak tersebut mereka akan kembali bertemu untuk melanjutkan ke tahap akhir, yakni pernikahan kudus.
Roda waktu terus berputar. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tak terasa tahun yang ditentukan tiba. Adrian merasa gembira karena tidak lama lagi ia akan menikah dengan wanita yang dicintainya. Namun, di luar dugaan masalah terjadi. Wanita itu menyalahkan Adrian karena kondisi keuangannya yang belum mumpuni. Padahal yang menyiapkan uang untuk segala urusan pernikahan adalah pihak laki-laki. Adrian sudah menyiapkan semuanya. Tetapi sang wanita menghalalkan berbagai cara untuk membatalkan pernikahan karena obsesinya pada materi.
Situasi kota metropolitan yang menyajikan berbagai fatamorgana kehidupan duniawi termasuk pekerjaannya telah membuat sang wanita nyaman dan tak ingin pulang. Menghadapi kenyataan ini, Adrian menawarkan untuk menyusul ke kota agar bisa tinggal bersama dan bekerja di sana. Saran Adrian tidak diterima. Terjadi perdebatan. Namun, sang wanita tetap pendirian. Ia melarang Adrian. Bahkan menyuruh Adrian tetap tinggal di kampung sambil beternak babi dan ayam. Bila itu sudah dilakukan, maka ia akan pulang. Adrian yang tak ingin beradu panjang memilih mengalah.Gaji kecil yang didapat dari kerjanya dimanfaatkan untuk membeli ayam dan babi. Adrian mulai beternak dan menikmati pekerjaan sampingnya itu.
“Apakah hanya itu masalahnya, nana?”
“Sonde, liko. Masih ada lagi.”
“Liko pasti masih ingat waktu kita melakukan demonstrasi dengan mengusung peti dan menyalahkan seribu lilin di Pelataran Kantor Pemungutan Suara Ulang?”
“Iya, tentu. Sa masih ingat, nana. Saat itu kita ikut bergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi. Kita menentang hasil pemungutan suara ulang yang diamini sebagai suatu kesalahan prosedural dan sonde adil. Peti sebagai simbol kematian demokrasi di tanah kita dan seribu lilin sebagai lambang keberanian untuk memberi terang atau pencerahan, kelahiran kembali atau aufklarung untuk suatu sistem demokrasi yang baru.”
“Betul sekali, liko.”
“Lalu apa hubungannya deng masalah kalian?”
“Nah, itu liko. Ketika kita sedang dalam aksi itu, Kaira menelpon. Saat itu sa sonde bisa angkat karna berada di barisan paling depan. Sonde bisa keluar. Dia terus menelpon hingga menyulut emosi. Sa berusaha menahan emosi. Sa mengirimkan pesan bahwa selesai kegiatan akan menelpon balik. Tapi Kaira membalasnya deng kata-kata yang sonde pantas.”
Adrian menjelaskan bahwa dalam chattingan itu, Kaira menyebut Adrian lelaki tolol. Manusia yang tak berguna. Lelaki paling ego yang hanya mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan keluarga. Bahkan Kaira melarangnya untuk tidak boleh bergabung lagi dalam aliansi. Berhenti bermain bola voli. Tidak boleh mengikuti kegiatan komunitas. Dan melarang anak-anak muda untuk tidak berkumpul lagi di rumahnya karena menghabiskan anggaran. Padahal seyogyanya Adrian selalu mengatur waktunya dengan baik. Ia tidak hanya bekerja sebagai orang kantoran, tetapi juga kerja serabutan untuk menambah penghasilan. Selain itu, anggaran untuk kegiatan komunitas bersumber dari galangan dana dan tambahan finansial dari para penasehat. Sementara itu, perkumpulannya dengan anak muda hanya sebatas diskusi tanpa memungut anggaran.
“Ya, nana harus sabar. Kami cewek memang begitu kalo lagi ngambek. Entar pasti sonde marah lagi kok.”
“Sonde marah bagemana liko? Sampe hari ini Kaira masih marah. Kaira belum bisa memaafkan. Bahkan dia mengungkapkan penyesalannya karena pernah memberikan bantuan.”
“Sampe hari ini? Berarti sudah lebih dari setahun?”
“Iya, liko. Sa ni su minta maaf berulang-ulang.”
“Waduh… kok bisa?”
“Ya, bisalah liko. Namanya juga manusia.”
“Oia, emangnya dia memberi bantuan apa, nana?”
“Kaira pernah membantu secara finansial untuk menggantikan uang teman yang sa pinjam. Ia juga memberikan beberapa kostum olahraga, alat-alat camping, kamera DSLR, dan pakaian kerja.”
“Begitukah,nana? Baik sekali.”
“Iya, liko. Tapi ada kekurangannya. Sa disuruh untuk mengembalikannya. Pada saat itusa sudah bilang bahwa pemberian ini harap kelak sondeboleh menjadi tolak ukur memperhitungkan kebaikan di kala sedang dilanda masalah. Dia mengatakannya dengan jelas bahwa sonde akan menyinggungnya sama sekali. Namun hari ini realita itu terjadi.”
“Mengapa nana sonde minta bantuan di unu dong sa?”
“Sa sudah memberitahukan mereka. Unu dong bersedia untuk membantu memenuhi kebutuhan urgen di awal karier. Tapi Kaira sonde mau merepotkan unu dong. Dia meminta sa untuk menerima pemberiannya. Sa menghargai pemberian itu. Tapi sekarang ia justru melangkahinya. Sonde memegang kata-katanya. Bahkan ia dengan tega memosting dengan bahasa sindiran di medsos. Menyalahkan sa sebagai biang keladi masalah.”
Adrian menjelaskan lebih lanjut bahwa Kaira menghendaki agar Adrian bisa berada dalam posisinya untuk memahami situasi. Namun Kaira sendiri tidak pernah berdiri di posisi sebaliknya. Merasakan bagaimana berada dalam penantian panjang. Menghindari pembicaraan orang di kampung. Menunggu dirinya sekian lama. Bersabar menghadapi tuntutannya. Menuruti larangannya. Pasrah diblokir dari semua medsos. Harus lapang dada menerima hasil screenshoot dari teman-teman tentang postingan Kaira yang menyindirnya.Dan harus tabah dengan penilaian Kaira yang salah terhadap realita dirinya. Meskipun situasinya demikian, Adrian tidak pernah mengungkap hal ini dimedsos untuk membalasnya. Netisen dengan mudah terperangkap dan percaya begitu saja pada setiap postingan Kaira. Semua dilakukan Adrian karena cintanya yang mendalam. Ia amat menghargai Kaira. Adrian tidak rela membicarakan kekurangan pasangannya di medsos, walaupun Kaira terus menyindir di instagramnya. Bagi Adrian medsos bukanlah tempat untuk menyelesaikan masalah.”
“Kalo begitu, nanti kembalikan saja nanakarna dia sudah memintanya.”
“Iya, akan sa kembalikan. Hanya sa kecewa. Mengapa Kaira yang berpendidikan tinggi harus mengambil sikap yang demikian? Padahal sa di sini terus menantinya dengan penuh rasa sayang.”
“Sudahlah, nana.”
“Atau dia sedang membuat alibi untuk mengelabui agar keluarga dan orang-orang terdekatnya percaya. Membenarkan apa yang dikatakannya. Bisa juga ada orang ketiga yang hidup bersamanya. Kita tidak punya keluarga di sana untuk membantu memantaunya. Bisakan?”
“Akh… nana sudah berpikiran terlalu jauh. Buang semua pikiran negatif itu. Sonde boleh menilai pasanganmu seperti itu.”
“Iya, liko. Maaf, sa tersulut emosi.”
“Iya, sonde apa-apa nana. Itu lumrah. Nana harus sabar. Badai pasti berlalu. Semua akan selesai.”
Nira memberikan berbagai motivasi agar Adrian tetap sabar, rendah hati, mengandalkan Tuhan, memiliki rasa yang pengertian dan mampu memahami situasi yang sedang terjadi. Bahwasannya menyelesaikan dinamika masalah dalam keluarga tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi masing-masing berada di tempat yang berbeda. Di satu sisi, ada keinginan untuk menyelesaikan masalah, tapi di sisi lain tidak ada pihak yang mau mengalah untuk meredakannya. Adanya perbedaan kepribadian dalam cara pandang. Keduanya sedang tidak hidup bersama melainkan sedang menjalin hubungan jarak jauh. Tak dapat dipungkiri bahwa hubungan yang demikian dapat memicu banyak persoalan. Nira berharap saudaranya itu harus bisa bertahan dalam menyikapi setiap cara pandang pasangannya. Kesabaran hati dan kesetiaan harus tetap dijaga. Semua akan terlewati pada waktunya.
“Terima kasih untuk kesediaan waktu dan nasihat yang baik dariliko. Sa akan mengindahkannya.”
“Baiklah, nana. Cuaca su mendung. Sebaiknya kita segera pulang. Kalo ada apa-apa lagi, jang lupa kabari liko.”
“Siap. Mari kita pulang!”
“Sa masih kembali ke kantor, nana.”
“Baiklah, liko.”
Keduanya berlangkah menuju tempat parkiran. Adrian menghidupkan motornya. Ia mengucapkan selamat pada saudarinya dengan wajah lesuh. Lalu melaju meninggalkan Nira yang masih berada di Parkiran Taman Soray. Nira terus memandangi kepergian saudaranya itu. Menarik nafas panjang. Mengusap wajahnya. Lalu bergegas ke kantor.
(Bersambung …)