Kupang, BN – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dibahas oleh DPR RI menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk Serikat Pekerja PLN (Persero).
Ketua Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Abrar Ali menolak skema power wheeling yang diusulkan pemerintah dalam RUU tersebut. Dia menyebutnya sebagai “syahwat politik” rezim yang akan berakhir pada Oktober mendatang.
Abrar menilai kekhawatiran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengenai ketidakmampuan PLN menghadapi lonjakan permintaan listrik sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan, dan menyatakan bahwa PLN mampu mengatasi lonjakan permintaan dengan membangun pembangkit baru.
Ia menegaskan bahwa pembahasan RUU EBET, khususnya skema power wheeling, sebaiknya dilanjutkan pembahasannya pada periode pemerintahan berikutnya.
Penolakan terhadap RUU EBET juga datang dari berbagai stakeholders dan pengamat ekonomi energi, seperti Fahmy Radhi dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Fahmy berpendapat bahwa skema power wheeling dapat menambah beban APBN dan merugikan negara dengan mengurangi permintaan pelanggan PLN hingga 30 persen untuk pelanggan organik dan hingga 50 persen untuk pelanggan nonorganik.
Hal ini akan memperbesar kelebihan pasokan PLN dan meningkatkan harga pokok penyediaan listrik, yang pada akhirnya akan membebani APBN karena tarif listrik PLN di bawah harga pokok penyediaan dan harga keekonomian.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto juga menolak skema power wheeling, karena dapat mengubah sistem single buyer and single seller (SBSS) menjadi multi buyer and multi seller system (MBMS).
Menurutnya, skema ini tidak hanya mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta, tetapi juga memiliki implikasi penting terhadap struktur pasar energi listrik di Indonesia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya menyatakan dukungannya terhadap skema power wheeling dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 24 Mei 2024.
Menurutnya, pemerintah tidak ragu untuk mendorong skema ini masuk ke dalam RUU EBET sebagai langkah untuk mengantisipasi lonjakan permintaan energi listrik di masa depan.
Namun, Abrar menilai bahwa kekhawatiran pemerintah ini tidak beralasan.
“Terlalu didramatisasi soal lonjakan permintaan tersebut. Buktinya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri. Soal nanti ada lonjakan permintaan, PLN akan mengantisipasinya dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru. Jadi jangan terlalu didramatisasilah, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sedang morat-marit ini,” kata Abrar
Menurut Abrar, skema power wheeling masih memerlukan kajian lebih lanjut sebelum diimplementasikan.
“Kan masih ada penolakan. Saat rapat tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukkan dalam RUU EBET karena tidak sekadar mengatur soal sewa Jaringan Transmisi PLN oleh swasta,” tambahnya.
Abrar juga menyampaikan bahwa pembahasan RUU EBET sebaiknya dilanjutkan pada masa pemerintahan periode 2024-2029.
“Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan ‘syahwat politik’ dipaksakan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat… dan akan menjadi beban negara nantinya,” ungkap Abrar.
Sejalan dengan pernyataan Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, SP PLN NTT melalui Ketua DPD Bernilius Ria juga menyatakan penolakan terhadap RUU EBET yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat di NTT.
“Kami menolak skema power wheeling dalam RUU EBET yang membuka peluang bagi swasta untuk menguasai sektor kelistrikan. Akibatnya kenaikan tarif listrik yang pasti memberatkan masyarakat, apalagi di NTT yang masih berjuang meningkatkan ekonomi yang sangat bergantung pada ketersediaan listrik dengan tarif yang terjangkau. Perlu dikaji lebih mendalam mengingat kondisi geografis di NTT yang adalah provinsi kepulauan,” tegasnya.
Menurutnya, apabila swasta atau badan usaha lainnya mengelola kelistrikan di NTT akan berdampak pada kenaikan harga jual dan selisih harga produksi dan harga jual akan membebani masyarakat dan juga beban subsidi pemerintah.
“Kami akan terus melakukan komunikasi dengan berbagai elemen stakeholder, akademisi serta meminta dukungan DPRD NTT untuk mendorong DPR RI dan Pemerintah Pusat agar meninjau kembali skema power wheeling dalam RUU EBET,” lanjut Beny.
Penolakan terhadap RUU EBET tidak hanya datang dari Serikat Pekerja PT PLN, tetapi juga dari berbagai stakeholder dan pengamat energi.
Hal ini menunjukkan bahwa RUU ini masih menyimpan sejumlah potensi masalah yang perlu diselesaikan sebelum dapat diterapkan tanpa merugikan masyarakat dan negara.
Dengan banyaknya pihak yang menentang, pemerintah diharapkan lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait skema power wheeling dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar bermanfaat bagi kepentingan publik dan tidak hanya sekadar memenuhi ambisi dan kepentingan politik.***